Senin, 30 April 2012

SAY NO TO TAURAN



pagi itu Dede dan ketiga temannya Aji, Fendi dan Sandi sedang berkumpul dikantin sekolah. Mereka sedang asyik membicarakan sekolah tetangga.
“Hey sudah lama kita enggak tauran-tauran. Kapan nich kita tauran lagi sama sekolah lain?” kata Fendi.
“Akh Elo hobbynya tauran mulu. Enggak kapok apa Elo waktu itu sudah dikasih peringatan sama pak polisi.” respon Dede.
“Yah payah Elo De, masa baru ditegor segitu aja sudah kapok. Bagi gue yang kemarin-kemarin hanya angin lalu saja. Enggak usah dihirauin. Bagaimana mau apa enggak kita tauran lagi? Kalau mau, nanti besok gue buat surat pernyataan perang ke sekolah tetangga.” Ajak Fendi.
Aji dan Sandi sangat setuju dengan ajakan Fendi. Namun, Dede masih ragu-ragu.
“Bagaimana dengan Elo De, ikut apa enggak? Jangan bilang Elo takut ya De,” Fendi mencoba kembali menghasut Dede.
“Enak aja siapa bilang gue takut. Tapi masalahnya…”
“Bilang aja Elo takut,” kata Fendi mengejek.
“Hhhmm oke gue mau,” Dede akhirnya terhasut oleh ajakan Fendi.
“Bagus, semuanya sudah setuju. Sekarang tinggal menyiapkan pasukan perang tambahan. Gue akan ajak teman-teman kita yang lain.”
Teng…teng
Terdengar bunyi bel sekolah yang menandakan waktu istirahat telah habis. Semua siswa yang sedang asyik-asyiknya makan, terpaksa meninggalkan makanannya. Begitupun dengan Dede dan kawan-kawan. Mereka menjeda pembicaraan mereka  dan segera kembali menuju kelas.
                                                       *      *      *
Keesokan harinya ditengah cuaca panas, kedua kelompok pelajar tersebut berkumpul membentuk dua kubu yang berlawanan. Ditangan mereka telah dipersiapkan berbagai senjata, seperti balok kayu, gesper, dan batu. Fendi dan kawan-kawan tampak sudah tidak sabar untuk menghajar.
Tatapan kebencian terlihat dari masing-masing kelompok. Tak mau berbasa-basi lagi Fendi langsung memberikan aba-aba perang kepada teman-temannya yang berada dibelakang.
“Seraaaannnggg!!!!!!!!!” teriak Fendi dengan lantang sambil mengacungkan balok kayu ditangan kanannya.
Dengan segera mereka semua berlari untuk saling serang. Hujan-hujan batu bertaburan. Suasana yang tadinya hening, sekejap berubah menjadi medan perang. Pukulan demi pukulan terus terjadi.
Tidak sedikit dari mereka yang terluka. Lemparan batu, sambatan gesper dan balok tidak bisa terelakan. Rasa sakit itu harus mereka tahan sampai ada salah satu dari kelompok tersebut yang menyerah.
Para warga sekitar mencoba untuk melerai, baik dengan cara yang halus bahkan cara kasar. namun, tidak berhasil. Mereka terus saja saling menyerang tanpa henti. Suasana semakin memanas. Salah seorang siswa dari sekolah lawan mulai kesal. Ia mengambil sebilah pisau tajam yang disembunyikannya didalam seragamnya. Siswa tersebut langsung berlari menuju Fendi sambil mengacungkan pisau tersebut. Fendi pun tak mampu untuk menghindar. Sebilah pisau tersebut kemudian akhirnya menembus perut Fendi. Ia seketika jatuh ditengah aspal. Jalanan itu penuh bersimpah darah. Suasana pun seketika hening. Perkelahian tiba-tiba saja berhenti. Mereka terfokus melihat Fendi yang terkapar. Dede dan kawan-kawan segera menghampiri Fendi.
“Semuanya mundur!!!!!” perintah sang ketua dari sekolah lawan yang tidak lain adalah orang yang telah menusuk Fendi.
Dengan penuh rasa cemas, teman-teman Fendi mencoba meminta tolong kewarga sekitar. Namun tak ada satu pun dari mereka yang mau menolongnya. Dengan terpaksa mereka harus membawa sendiri. Karena jika tidak cepat-cepat maka nyawa Fendi tidak akan terselamatkan.
                                                                       *      *      *
Dua hari kemudian kedua kelompok tauran itu, termasuk Dede, Aji, dan Sandi langsung diperiksa oleh kepolisian setempat. Mereka hanya bisa menunduk malu dan tak bisa berbuat apa-apa saat diintrogasi. Agar benar- benar jera, polisi memberikan hukuman penjara bagi kedua kelompok tersebut selama satu bulan enam hari. Sedangkan bagi sang pelaku penusukan dihukum enam tahun penjara. Selain itu, mereka semua juga terpaksa dikeluarkan dari sekolahnya.
Disisi lain, Fendi sang profokator masih tak sadarkan diri di rumah sakit akibat luka tusukan pisau tajam yang dideritanya.
Tauran, perkelahian, peperangan dan semua yang berhubungan dengan kekerasan sama sekali tak ada manfaatnya. Itu semua hanya akan menimbulkan korban serta kerusakan. Alangkah baiknya kita semua sebagai manusia saling toleransi dan senantiasa selalu berdamai. Selesaikan setiap permasalahan dengan cara baik-baik agar tidak ada lagi yang namanya perkelahian.
Karena damai itu indah.



CINTAKU JATUH DI SEPEDA



Pagi itu tampak Ryan sedang memarkirkan sepeda kesayangannya di tempat parkiran sekolah khusus sepeda. Namun, ketika Ia sedang mencoba keluar dari parkiran tersebut, tiba-tiba saja seseorang dibelakang membunyikan klakson motor dengan teramat keras. Sehingga membuat Ryan menjadi kaget setengah mati. Ryan pun mencoba menoleh kebelakang, dan ternyata orang itu adalah Gusti, teman Ryan yang paling gaul plus menyebalkan.
“Hey brow!!!” sapa Gusti mengangkat tangan sambil turun dari motornya.
“hay… hey… hay… hey…” jawab Ryan dengan raut muka yang kesal “ Elo hobby banget ya buat gue kaget. Memang Elo mau ngebayarin biaya rumah sakit kalau nanti ada apa-apa sama gue.”
“Eeiitt… nyantai donk brow. Enggak usah marah kaya begitu. Gue kan cuma becanda. Peace.” Gusti mengangkat tangan kanannya dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.
“Becanda sih becanda tapi enggak begitu juga kali. Ini mungkin sudah keseratus kalinya Elo ngagetin gue. Awas ya kalau besok-besok Elo masih ngagetin gue, enggak akan lagi-lagi gue nyontekin PR gue ke Elo.”
“ Waduuuuuhh jangan gitu donk brow, bagaimana nasib gue nantinya kalau enggak ada contekan dari Elo,” wajah Gusti langsung berubah menjadi ketakutan saat mendengar bahwa Ryan enggak akan memberikan contekannya lagi. “Oke dech, gue enggak akan ngagetin Elo lagi. Gue janji, janji seorang sahabat.”
“hhhmm oke, kali ini Elo gue maafin. Kalau yang berikutnya jangan harap ya.”
“Thanks ya brow, Elo memang teman gue yang paling baik dan pengertian,” senang Gusti sambil memeluk Ryan.
Kemudian tanpa disengaja Gusti melirik sepeda berwarna biru yang ada di parkiran. Tiba-tiba Ia mengerenyitkan dahi.
“Hey- hey… Elo masih naik sepeda juga,”
“Iya, memang kenapa? Ada yang salah ya,” jawab Ryan dengan santainya.
“Ya iyalah salah. Sekarang enggak zaman berangkat ke sekolah naik sepeda Brow. Lihat!! Semua siswa disini rata-rata naik kendaraan bermotor semua. Terus, kalau Elo naik sepeda kapan bisa punya ceweknya. Zaman sekarang cewek sukanya sama cowok yang punya motor, brow. Apa lagi kalau motornya itu keren. Pasti mereka bakal nempel kaya perangko,” Gusti mulai menghasut.
“enggak semuanya cewek kaya begitu, mungin masih ada cewek yang mau menerima gue apa adanya. Lagi pula naik sepeda itu sehat loh plus bisa menjaga bumi kita dari pemanasan global, Brow.”
“Akh Elo memang susah dikasih tahunya,”
“Hahaha ya sudah lebih baik kita masuk kekelas! Nanti telat lagi,” ajak Ryan sambil merangkul Gusti.
  *     *     *
Pukul 13:35 WIB,
Teng…teng…teng…
Tak terasa Lonceng yang menandakan waktu pulang telah berbunyi. Seluruh siswa dan siswi keluar dari dalam kelas penuh dengan suka cita. Rasa penat yang tadinya menghinggapi, seketika hilang begitu saja.
”Ryan tunggu!!!” teriak Gusti.
“Ada apa lagi?” tanya Ryan tampak sinis.
“Sinis banget sih Elo sama gue. Oh iya jangan lupa, tugas matematika besok bagi-bagi ya! Hehehe.”
“Hhhmmm dasar Elo mau enaknya aja. Sekali-kali donk kerjain tugas Elo sendiri, jangan terlalu mengandalkan orang lain!” tegas Ryan.
“Hehehe iya, tapi nanti kapan-kapan aja.”
Namun, ketika Ryan sedang menceramahinya, Gusti malah melirik kearah wanita didepan gerbang sekolah.
“Wah ada Shella tuh. Men, gue tinggal dulu ya ada urusan penting nich,” Gusti langsung menaiki motor sportnya dan menuju ke wanita yang Ia lihat itu.
“Gusti, Elo mau kemana? Yah gue ditinggal sendiri lagi, dasar tuh anak memang nyebelin.” Ryan tampak kesal.
“Yan gue duluan ya!!!” teriak Gusti dari depan gerbang.
“Waduh apa maksudnya Dia ngeboncengin Sella, cewek pujaan hati gue. Kurang ajar tuh anak. Hhmm memang enak sih kalau punya motor, dapetin cewek yang kita suka jadi lebih gampang. Akh ngomong apa aku ini. Siapa bilang sepeda enggak bisa. Bisa kok, lihat aja nanti,” kata Ryan yang mencoba menghibur dirinya sendiri.
Kemudian Ryan mulai mengayuh sepedanya dengan perasaan kanut. Bagaimana tidak, cewek pujaannya pulang bareng Gusti, seorang cowok play boy.
Hari semakin panas. tubuh ini seakan-akan terbakar oleh panasnya matahari. Ryan terus mengayuh sepedanya tanpa henti. Keringat terus mengucur dari setiap pori-pori kulitnya. Namun, tiba-tiba di tengah perjalanan, Ryan melihat sebuah motor Ninja 250 CC berwarna merah terparkir disebuah bengkel kecil.
“Hhhmm sepertinya aku kenal dengan motor dan plat nomornya,” kata Ryan.
Apa yang Ryan pikirkan ternyata benar. Motor itu memang milik Gusti. Disitu tampak Gusti dan Shella sedang duduk berdua. Dengan segera Ryan pun menghampiri mereka.
“Hay, kalian sedang apa disini?” tanya Ryan.
“Eh Elo rupanya, Yan. Enggak tahu nih brow, motor gue tiba-tiba mogok.”
“Ooohh…”
“Duh bagaimana nih, hari ini kan aku mau ada kursus bahasa inggris dengan Miss Diana. Aku enggak boleh ketinggalan,” Shella tampak gelisah.
“Oya… memang kursusnya jam berapa, Shell?” tanya Ryan basa-basi.
“Jam setengah tiga,”
“Waduh berarti sebentar lagi donk.”
“Iya, bagaimana nich?”
“Hhhmm,” Ryan berfikir sejenak. “Oh iya kebetulan aku bawa sepeda, bagaimana kalau aku antar kamu pulang. Tapi itu juga kalau kamu mau,” Ryan memberikan usul.
“Yang benar saja kamu Yan, masa cewek secantik Shella disuruh naik sepeda. Ngaco nich kamu,” Gusti merasa keberatandengan usul temannya itu.
“Hhhmm enggak buruk juga. Lagi pula sudah lama aku enggak naik sepeda. Boleh kalau begitu.”
Serasa terbang melayang keawang-awang saat Shella menerima tawarannya itu. Namun tidak demikian dengan Gusti, Ia seakan harga dirinya kalah dengan sebuah sepeda butut milik Ryan.
“Ya sudah mari aku bonceng kamu didepan. Gus, gue duluan ya,” Ryan tersenyum. “Baik-baik disini, dan jangan lupa langsung pulang! Nanti Mami Elo nyariin lagi hehehe.”
Selama perjalanan Ryan dan Shella tampak begitu akrab. Ini adalah sesuatu yang langka bagi Ryan.  Bagaimana tidak, biasanya Ia hanya bisa memandangi wanita pujaannya itu dari jauh. Namun kini Ia bisa berduaan diatas sepeda kesayangannya.
Akhirnya mereka tiba di rumah Shella tepat pada waktunya.
“Terima kasih ya atas tumpangannya. Apa jadinya kalau tadi enggak ada kamu.”
“Iya sama-sama,” Ryan tersenyum.
“Hhhmm wajah kamu sampe berkeringat begitu, sini biar aku usap dulu,” Shella mengusap wajah Ryan dengan sapu tangannya dengan penuh kelembutan.
“Te…te…terima kasih, i…ini mah sudah biasa,” Ryan tampak semakin gugup.
 “Ikkhh kok kamu jadi gugup kaya gitu sich.”
“I…i…ini juga sudah bi…asa, kalau deket sama cewek cantik pasti aku jadi gugup. Khususnya kamu,” Ryan tersenyum malu sambil menggigit jari. “Uuppss keceplosan.”
“Hhhmmm kamu bisa aja,” Shella tersipu malu dengan pipi merah merona. “Oh iya, nanti besokkan hari minggu, bagaimana kalau kita bersepeda bareng?” usul Shella.
“Boleh… boleh banget, kenapa engak. Kapan pun aku siap kok,” Ryan tampak begitu girang seperti mendapatkan uang satu miliar.
“Oke aku tunggu besok di taman dekat sekolah, jangan lupa ya.”
“Sip deh. Aku pasti enggak akan lupa,” kata Ryan sambil mengacungkan jempolnya.
“Ya sudah kalau begitu aku masuk dulu. Hati-hati dijalan ya. Daaah,” Shella melambaikan tangan sambil menutup pintu gerbang rumahnya.
“Ya Tuhan mimpi apa aku tadi malam, sampe gue bisa pulang bareng sama Shella. Jodoh memang enggak bakal kemana. Thanks ya sepedaku. Aku jadi enggak sabar nunggu besok.”
Kemudian Rian pun meninggalkan rumah Shella dengan rasa bahagia.