Rabu, 09 Mei 2012


 BUNGA MAWAR LILA 
Sore itu Lila sedang asyik menyirami tanaman bunga mawar di halaman belakang rumahnya. ada dua jenis tanaman bunga mawar yang Dia tanam, yaitu mawar merah dan mawar putih. Cintanya pada tanaman mawar melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.
Tanaman mawar Lila semuanya tumbuh dengan subur. Bunga-bunganya pun tidak kalah dengan bunga yang ada di toko-toko. Bahkan sampai ada orang ingin membeli tanaman mawarnya itu dengan harga mahal. Namun Dia menolaknya, karena mawarnya itu bukan untuk di jual.
“Lila masuk!!” perintah sang Mama. “Hari sudah gelap, mau sampai kapan kamu berada di situ terus?”
“Nanti Ma, sebentar lagi,” jawab Lila sambil terus menyirami tanaman mawarnya.
Setelah selesai menyirami tanamannya, Lila segera masuk ke dalam rumah. Karena jika terlalu berlama-lama, Mamanya pasti akan mengomel lagi. ia berjalan perlahan, mengendap, menaiki anak tangga tanpa terdengar suara langkah kaki.
“ekhem…” sang Mama berdiri di bawah anak tangga sambil kedua tangannya memegangi pinggangnya. Terlihat dari tatapan matanya kalau Ia sedang marah. “Mama kan sudah bilang jangan lama-lama. Kamu ini memang susah di kasih tahunya.” Kata sang Mama.
“Maaf Mam, habis aku tadi keasyikan sih jadi lupa deh.” Kata Lila dengan raut muka yang kusam.
“Mama tidak melarang kamu untuk menyirami tanaman mawarmu. Tapi ini sudah kelewat batas, Sampai-sampai kamu lupa makan dan lupa segalanya. Kalau kamu sakit bagaimana?” ujar Mamanya.
“Iya Mamaku sayang yang paling baik sedunia,” rayu Lila. “Sekali lagi aku minta maaf. Lain kali Lila tidak akan lagi-lagi deh, swear,”tangan kanannya membentuk huruf V.
“Hhmm ya sudah cepat kamu mandi jangan lupa sholat setelah itu makan!! Perintah sang Mama.
“Oke deh,” Lila segera menuju kamarnya untuk mengambil handuk dan peralatan mandinya.
*          *          *
Keesokan harinya sepulang sekolah, Lila mengajak tenam-temannya yaitu Zahra, Ine dan Tika ke rumahnya untuk mengerjakan tugas kelompok bersama. Mereka kaget melihat sebagian halaman rumah Lila dipenuhi dengan tanaman bunga mawar.
“Wah banyak sekali tanaman mawar Elo Lila,” kagum Ine.
“Tentu, gue menanamnya sejak empat tahun lalu. Jadi jangan kaget kalau tanaman mawarku jadi sebanyak ini,” jawab Lila.
“Hhmm Elo memang penggemar fanatic bunga mawar ya La,” tambah Zahra.
“Hehehe begitulah. Oh iya ngomong-ngomong kalian mau minum apa?” Tanya Lila.
“Apa aja deh yang penting bisa buat tenggorokan segar,” jawab Zahra.
“Iya, gue juga sama,” tambah Tika.
“Kalau gue air putih aja!! Soalnya air putih itu bisa buat otak kita encer. Biar nanti ngerjain tugas kelompoknya lancar hehehe,” pinta Ine.
“Oke deh, tunggu sebentar ya,” kata Lila yang segera menuju dapur.
Zahra dan Tika tampak menikmati interior rumah Lila yang nyaman dan cantik. Namun Ine lebih memilih keluar untuk melihat-lihat tanaman mawar. Tidak mau kalah dengan Ine, Tika dan Zahra pun ikut keluar.
 “Hei kita minta beberapa tangkai yuk buat hiasan di kamar,” kata Ine kepada Tika dan Zahra.
“Jangan akh nanti Lila marah lagi,” cegah Zahra. “mawar inikan tanaman kesayangan Lila.”
“Hanya satu tangkai saja, Lila enggak mungkin marah,” hasut Ine.
Awalnya Zahra dan Tika menolak ajakan Ine. Namun setelah Ine memetik satu tangkai, mereka berdua akhirnya targoda ingin memetiknya juga.
Namun, Lila tiba-tiba datang membawa air minum pesanan teman-temannya. Dia melihat teman-tamannya itu memetik bunga kesayangannya. Dengan segera Lila menghampiri mereka dengan raut muka yang tampak marah.
“Ya ampun apa yang kalian lakukan?” Tanya Lila kaget melihat teman-temannya memegangi tangkai bunga mawar.
“Kita hanya mengambil beberapa tangkai saja kok,Lila. Iyakan teman-teman,” jawab Ine.
“Iya La,” tambah Zahra dan Tika.
“Kalian tahukan tanaman mawar ini tanaman kesayangan gue. Gue aja enggak berani untuk memetiknya. Kalian memang keterlaluan.” Kata Lila yang marah.
“Maafkan kita La yang telah lancang memetik bunga milikmu tanpa izin,” kata Zahra.
“Sebaiknya kalian bertiga pulang saja deh!!” perintah Lila kepada ketiga temannya.
“Tapi, bagaimana dengan tugas kelompok kita La?” Tanya Tika. “Tugas itukan harus dan wajib dikumpulkan besok.”
“Iya La, bisa-bisa nanti kita di hukum sama bu Fadilah kalau tidak dikerjakan,” Tambah Ine yang sedikit cemas.
“Gue enggak perduli. Kalian bertiga sudah membuat gue kecewa. Sebaiknya kalian bertiga pulang saja dan lupakan tugas kelompok kita!” perintah Lila yang tetap masih marah.
“Baiklah jika itu mau Elo, kita bertiga akan pulang. Sebelumnya kita minta maaf telah membuat Elo marah. Ine, Tika mari kita pulang!! Kita kerjakan tugas bahasa Indonesianya di rumahku saja,” kata Zahra yang kemudian meninggalkan Lila sendiri bersama mawar-mawar miliknya.
Mereka akhirnya pergi dengan perasaan bersalah sekaligus kesal terhadap sikap Lila yang ternyata lebih mementingkan tanaman mawarnya dibandingkan temannya sendiri.
“Teman-temanmu mana, sayang?” Tanya sang Mama yang baru selesai memasak buat makan siang.
“Mereka sudah pulang Mam,” jawab Lila.
“Loh kok cepat banget. Memang kerja kelompoknya tidak jadi?” Tanya sang Mama.
“Lila suruh mereka pulang. Habisnya mereka bertiga sudah buat Lila marah,” kata Lila dengan raut muka kesal.
“Hhmm memangnya apa yang telah teman-temanmu lakukan sehingga membuatmu marah. Bahkan sampai kamu tega  mengusir mereka?” Tanya sang Mama.
“Mereka memetik bunga mawarku tanpa izin. Mama tahukan siapa pun enggak ada yang boleh memetik bunga mawarku. Maka dari itu Lila suruh mereka pulang.”
“Ya ampun Lila, kamu itu sudah sangat keterlaluan pada mereka. Seharusnya kamu tidak boleh seperti itu. Bagaimanapun juga mereka semua adalah teman-temanmu. Apa lagi kalian sudah berteman sejak SMP,”kata  sang Mama yang mencoba menyadarkan Lila.
Lila hanya terdiam dan segera masuk ke dalam kamarnya.
*          *          *
Diam tanpa kata, mungkin itu yang sedang terjadi pada keempat gadis cantik ini. Semenjak kejadian itu Lila tidak pernah berbicara lagi dengan Zahra dan kawan-kawan. Biasanya setiap pagi mereka berkumpul, tertawa, sedih bareng namun Kini sudah tidak lagi. Lila lebih memilih  sendiri. Dia masih belum bisa memaafkan mereka bertiga.
Lila hanya bisa memandangi teman-temannya yang terlihat sedang asyik tertawa. Terkadang Ia merasa bersalah kepada mereka karena telah memarahi mereka. “Hhmm sepertinya gue sudah kelewatan sama mereka. Sebenarnya gue ingin banget gabung lagi sama Zahra, Ine dan Tika. Tapi…. Gue gengsi untuk minta maaf,” kata Lila berbicara pada diri sendiri.
Setibanya di rumah, Lila kemudia menghampiri Mamanya yang sedang menyiapkan makan siang. “Mam, Lila ingin curhat sama Mama. Bolehkan?”
“Hhmm tentu dong sayang. Memang kamu mau curhat tentang apa?” Tanya sang Mama penasaran.
“Lila sadar kalau Lila telah berlebihan kepada Zahra, Tika dan Ine. Apa yang harus Lila sekarang lakukan, Mam?” Tanya Lila.
“Hhmm sebaiknya kamu minta maaf saja sama mereka. Itu jalan satu-satunya agar kamu bisa bersama lagi dengan teman-temanmu itu,” ujar sang Mama.
“Tapi masalahnya Lila malu untuk meminta maaf. Lagi pula apa mereka mau memaafkan Lila?”
“Kamu tidak perlu malu ataupun gengsi, Mama yakin mereka pasti akan memaafkan kamu. Besok kamu coba untuk meminta maaf kepada Zahra dan kawan-kawan. Jangan biarkan kamu kehilangan teman sebaik mereka,”
“Iya Mam, akan Lila usahakan,” jawab Lila tersenyum.
“Nah begitu dong, itu baru anak Mama. Ya sudah sekarang kamu ganti baju setelah itu makan siang!”
“Oke deh Mam,”
Keesokan harinya, Lila menghampiri Zahra, Tika dan Ine yang sedang duduk bersama di taman sekolah.
“Selamat pagi semuanya,” sapa Lila.
“Pagi juga ,” jawab Zahra dan kaawan-kawan yang kaget melihat Lila.
“Ada apa Lila? Tumben,” Tanya Tika.
“Hhhmm ada yang mau gue bicarakan sama kalian bertiga. Tapi sebelumnya gue minta maaf telah mengganggu obrolan kalian,” kata Lila yang tampak gugup.
“Enggak apa-apa kok, kita enggak ngerasa keganggu. Sebenarnya apa yang mau Elo bicarakan?” Tanya Zahra penasaran.
“begini, gue… gue mau minta maaf sama kalian soal kejadian di rumah gue waktu itu. Gue ngerasa bersalah sama kalian. Maukah kalian memaafkan gue?” Tanya Lila pasrah dengan jawaban teman-temannya.
“Hhhmm…” Zahra sedikit berfikir. “Gue mau aja maafin Elo, tapi kalau anak-anak gue enggak tau.”
“Gue juga mau maafin Elo tapi ada syaratnya,” tambah Ine.
“Apa syaratnya?” Tanya Lila penasaran.
“Hhmm kita mau maafin Elo asalkan Elo juga mau maafin kita soal bunga mawar kemarin,” kata Ine tersenyum.
“Iya La, Elo mau maafin Kita juga kan,” ujar Tika.
“Pastinya dong kitakan sahabat yang harus saling memaafkan.” Senyum Lila.
“Jadi kita baikan lagi nih,” kata Ine.
“Iya lah masa kita mesti marahan terus sih hanya karena setangkai bunga mawar,” jawab Zahra.
“Oh iya sebagai rasa minta maaf gue ke kalian, bagaimana sepulang sekolah, kalian main ke rumahku. Kita petik bunga mawar bersama. Mumpunng bunga mawarku lagi pada mekar,” usul Lila.
“Wah ide bagus tuh, hayu…hayu,” senang Ine.
‘Ya sudah kalau begitu mari kita ke kelas! Hari inikan ada pelajaran Kimia,” ajak Lila.
Akhirnya mereka bisa berbaikan lagi seperti dulu. Ke empat gadis remaja itu kemudian berjalan meninggalkan taman dan segera menuju ke kelas dengan perasaan gembira. Kini sudah tidak ada lagi pertengkaran di antara mereka. Hanya ada keceriaan. 

Selasa, 08 Mei 2012


I’M SORRY MOM
            Pagi itu Gita tampak sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Dia mengambil tas di atas meja belajarnya. Dan tidak lupa pula untuk membawa handphone kesayangannya yang sudah jadul.
“Fhuuu…” Gita menghembuskan nafas panjang saat memegang hanphonenya itu. “kapan aku bisa ganti HP baru seperti teman-teman?” Tanya Gita pada dirinya sendiri.
            “Gita,” kata Santini sang Mama yang membuka pintu kamar Gita. “Kamu kapan berangkatnya? Nanti telat loh.”
            “Iya Mam,” jawab Gita tidak semangat. “Aku berangkat sekolah dulu ya Mam,” pamit Gita sambil mencium tangan Santini.
            Santini merasa bingung melihat sikap semata wayangnya itu. Beberapa hari ini Ia menjadi aneh. Jarang berbicara dengannya dan selalu tidak semangat setiap hendak berangkat sekolah. Namun Dia berfikir mungkin anaknya itu sedang haid, jadi kelihatannya lemas. Kemudian Santini menutup pintu kamar Gita dan segera menuju teras depan.
            Setibanya di sekolah, Gita langsung memasuki ruangan kelasnya. Kedua mata indahnya meliriki teman-temannya yang sedang asyik memainkan blackberry mereka. Begitu pula dengan Herni teman sebangkunya, terlihat sibuk menulis status di blackberry masangernya.
Gita kemudian duduk di kursinya yang berada dipaling belakang. “selamat pagi Hern,” sapa Gita.
            “Eh elo Git, pagi juga,” jawab Herni sambil memegang BB-nya. “Kok gue enggak tahu kalau elo sudah datang sih.”
            “Lagian elo sibuk banget sama BB elo,” kata Gita kesal.
“Hehehe sorry-sorry. Peace.”
“Memang elo lagi BBM-an sama siapa sih? kayanya sibuk banget,” Tanya Gita penasaran.
“ itu tuh kak Yogi, kakak kelas kita yang paling cool seperti Dude Herlino. Lihat isi BBM-nya romantic banget ya,” kata Herni yang memperlihatkan pesan BBM-nya kepada Gita.
“Hhmm asyik kali ya punya blackberry,” kata Gita.
“Memang elo enggak di belikan BB sama orang tua elo, Git?” Tanya Herni.
“Enggak… jangankan BB, handphone biasa aja gue enggak dibelikan. Bilangnya HP gue yang sekarang masih bagus,” jawab Gita.
“Wah tega banget orang tuamu, masa anak tunggalnya hanya di kasih handphone yang usianya hampir sama sama yang punyanya,” Herni menggelengkan kepala. “coba deh elo bujuk lagi Mama dan Papa elo, siapa tahu mereka mau mengerti dan akhirnya membelikan BB buat elo,”
“Sebenarnya Papaku sudah berniat untuk membelikan blackberry buat gue. Tapi, Mama gue melarangnya. bilangnya sih uangnya sayang terus Dia takut kalau gue nantinya enggak fokus sama pelajaran di sekolah,” kata Gita yang tetap sedih.
“Ya sudah, elo bersabar aja mungkin ini belum saatnya,” kata Herni yang mencoba menghibur Gita.
*          *          *
            Keesokan paginya ketika hari tampak begitu cerah dan kebetulan hari ini adalah hari minggu. Santini merasa heran melihat tingkah anaknya, biasanya kalau di hari weekend Dia selalu bangun lebih awal untuk melakukan jogging, salah satu oahraga favoritenya. Namun , kali Gita berdiam diri di dalam kamar.
            Santini yang penasaran segera menghampiri anak kesayangannya itu.
“Gita, kamu kok belum bangun? Biasanya kalau weekend seperti ini kamu selalu bangun pagi tapi sekarang kok tidak, kenapa sayang?” Tanya Santini.
            “Aku lagi enggak mood Mam,” jawab Gita yang sedikit kesal dengan Mamanya.
            “kamu kenapa sih sayang? kok dari kemarin kamu kelihatannya sedang ada masalah. Tolong ceritakan sama Mama!” kata Santini.
            Namun Gita malah menutup dirinya dengan selimut. “Tanya aja pada diri Mama sendiri,”
            Santini hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya hari ini. Kemudian Ia pergi meninggalkan kamar Gita.
            Setelah melihat bahwa Mamanya telah keluar, Gita langsung terbangun dari ranjangnya. Dengan perasaan jengkel Ia mengambil Ipod miliknya yang berada di meja belajarnya. Headset dimasukan kekedua lubang telinganya. Dipilihnya daftar lagu band Ungu, salah satu band favoritenya.
            Semua lagu itu mampu menghilangkan semua rasa jengkelnya. Namun, ketika salah satu lagu Ungu yang berjudul doa untuk ibu itu berputar, Gita hanya terdiam. Fikirannya langsung teringat kepada Mamanya. setelah lagu itu habis,             Gita tersadar bahwa Ia telah melakukan kesalahan besar terhadap Mamanya.
*          *          *
            Pagi ini Gita sedang bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Semua keperluan telah disiapkannya sejak semalam. Dia kemudian berjalan menuju Mamanya yang sedang berada di dapur untuk pamit. Kini rasa jengkel terhadap Mamanya telah hilang. Gita sadar bahwa seharusnya Ia tidak boleh melakukan hal itu kepada Mamanya.
            Namun, Gita terhenti sejenak saat melihat sebuah kotak kado di atas meja makan. Gita yang penasaran, kemudian memegang dan menggoyang-goyangkan kado tersebut. Santini segera menghampiri anaknya itu.
“Ma mini kotak apaan?” Tanya Gita penasaran.
“Buka saja!! Kebetulan kado itu buat kamu sayang,” jawab Santini dengan tersenyum.
Gita yang semakin penasaran langsung merobek bungkus kado tersebut. Sekejap Dia kaget dan tidak percaya ternyata isi kotak tersebut adalah sebuah blackberry tipe Gemini. Gita tampak begitu senang dan kemudian memeluk erat Mamanya.
            “Ya ampun, BB ini benar buat aku?,” tanya Gita yang senang dan merasa tak percaya.
            “Iya sayang, itu BB buat kamu,” jawab Santini.
            Awalnya Gita senang menerima hadiah dari Mamanya. namun tiba-tiba Dia sambil terdiam memandangi wajah Mamanya. “Maaf Mam sepertinya Gita tidak bisa menerima blackberry itu,” kata Gita.
            “Kenapa sayang?” Tanya Santini kaget.
            “Hhmm Gita sadar bahwa kasih sayang Mama itu lebih penting dari pada sebuah BB. Selain itu Gita juga ingin minta maaf tentang sikap aku selama ini yang telah membuat Mama kesal. Maafin Gita ya Mam,” Gita menyerahkan kembali hadiah miliknya itu kepada Mamanya.
            Santini hanya tersenyum melihat anaknya itu. “Hhmm kamu memang anak Mama yang paling baik. Mama sudah memaafkan kamu sayang. Ambillah!! Anggap BB itu hadiah dari Mama buat kamu. Yang terpenting, kamu jangan lupa belajar dan tingkatkan prestasimu di sekolah maupun di luar sekolah!!” nasihat Santini.
“Ok Mamaku sayang,” senyum Gita sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.
“Ya sudah sekarang kamu berangkat sekolah dulu, nanti talat lagi!!”
“Oke deh Mam, daaaahhh Mama,” pamit Gita kepada Mama tersayangnya.
Kini hari-hari Gita penuh dengan senyuman. Rasa kesal terhadap Mamanya telah hilang. meski Ia telah memiliki sebuah BB. Namun Dia tidak pernah lupa untuk selalu belajar agar bisa menjadi yang terbaik di sekolah. 

Senin, 30 April 2012

SAY NO TO TAURAN



pagi itu Dede dan ketiga temannya Aji, Fendi dan Sandi sedang berkumpul dikantin sekolah. Mereka sedang asyik membicarakan sekolah tetangga.
“Hey sudah lama kita enggak tauran-tauran. Kapan nich kita tauran lagi sama sekolah lain?” kata Fendi.
“Akh Elo hobbynya tauran mulu. Enggak kapok apa Elo waktu itu sudah dikasih peringatan sama pak polisi.” respon Dede.
“Yah payah Elo De, masa baru ditegor segitu aja sudah kapok. Bagi gue yang kemarin-kemarin hanya angin lalu saja. Enggak usah dihirauin. Bagaimana mau apa enggak kita tauran lagi? Kalau mau, nanti besok gue buat surat pernyataan perang ke sekolah tetangga.” Ajak Fendi.
Aji dan Sandi sangat setuju dengan ajakan Fendi. Namun, Dede masih ragu-ragu.
“Bagaimana dengan Elo De, ikut apa enggak? Jangan bilang Elo takut ya De,” Fendi mencoba kembali menghasut Dede.
“Enak aja siapa bilang gue takut. Tapi masalahnya…”
“Bilang aja Elo takut,” kata Fendi mengejek.
“Hhhmm oke gue mau,” Dede akhirnya terhasut oleh ajakan Fendi.
“Bagus, semuanya sudah setuju. Sekarang tinggal menyiapkan pasukan perang tambahan. Gue akan ajak teman-teman kita yang lain.”
Teng…teng
Terdengar bunyi bel sekolah yang menandakan waktu istirahat telah habis. Semua siswa yang sedang asyik-asyiknya makan, terpaksa meninggalkan makanannya. Begitupun dengan Dede dan kawan-kawan. Mereka menjeda pembicaraan mereka  dan segera kembali menuju kelas.
                                                       *      *      *
Keesokan harinya ditengah cuaca panas, kedua kelompok pelajar tersebut berkumpul membentuk dua kubu yang berlawanan. Ditangan mereka telah dipersiapkan berbagai senjata, seperti balok kayu, gesper, dan batu. Fendi dan kawan-kawan tampak sudah tidak sabar untuk menghajar.
Tatapan kebencian terlihat dari masing-masing kelompok. Tak mau berbasa-basi lagi Fendi langsung memberikan aba-aba perang kepada teman-temannya yang berada dibelakang.
“Seraaaannnggg!!!!!!!!!” teriak Fendi dengan lantang sambil mengacungkan balok kayu ditangan kanannya.
Dengan segera mereka semua berlari untuk saling serang. Hujan-hujan batu bertaburan. Suasana yang tadinya hening, sekejap berubah menjadi medan perang. Pukulan demi pukulan terus terjadi.
Tidak sedikit dari mereka yang terluka. Lemparan batu, sambatan gesper dan balok tidak bisa terelakan. Rasa sakit itu harus mereka tahan sampai ada salah satu dari kelompok tersebut yang menyerah.
Para warga sekitar mencoba untuk melerai, baik dengan cara yang halus bahkan cara kasar. namun, tidak berhasil. Mereka terus saja saling menyerang tanpa henti. Suasana semakin memanas. Salah seorang siswa dari sekolah lawan mulai kesal. Ia mengambil sebilah pisau tajam yang disembunyikannya didalam seragamnya. Siswa tersebut langsung berlari menuju Fendi sambil mengacungkan pisau tersebut. Fendi pun tak mampu untuk menghindar. Sebilah pisau tersebut kemudian akhirnya menembus perut Fendi. Ia seketika jatuh ditengah aspal. Jalanan itu penuh bersimpah darah. Suasana pun seketika hening. Perkelahian tiba-tiba saja berhenti. Mereka terfokus melihat Fendi yang terkapar. Dede dan kawan-kawan segera menghampiri Fendi.
“Semuanya mundur!!!!!” perintah sang ketua dari sekolah lawan yang tidak lain adalah orang yang telah menusuk Fendi.
Dengan penuh rasa cemas, teman-teman Fendi mencoba meminta tolong kewarga sekitar. Namun tak ada satu pun dari mereka yang mau menolongnya. Dengan terpaksa mereka harus membawa sendiri. Karena jika tidak cepat-cepat maka nyawa Fendi tidak akan terselamatkan.
                                                                       *      *      *
Dua hari kemudian kedua kelompok tauran itu, termasuk Dede, Aji, dan Sandi langsung diperiksa oleh kepolisian setempat. Mereka hanya bisa menunduk malu dan tak bisa berbuat apa-apa saat diintrogasi. Agar benar- benar jera, polisi memberikan hukuman penjara bagi kedua kelompok tersebut selama satu bulan enam hari. Sedangkan bagi sang pelaku penusukan dihukum enam tahun penjara. Selain itu, mereka semua juga terpaksa dikeluarkan dari sekolahnya.
Disisi lain, Fendi sang profokator masih tak sadarkan diri di rumah sakit akibat luka tusukan pisau tajam yang dideritanya.
Tauran, perkelahian, peperangan dan semua yang berhubungan dengan kekerasan sama sekali tak ada manfaatnya. Itu semua hanya akan menimbulkan korban serta kerusakan. Alangkah baiknya kita semua sebagai manusia saling toleransi dan senantiasa selalu berdamai. Selesaikan setiap permasalahan dengan cara baik-baik agar tidak ada lagi yang namanya perkelahian.
Karena damai itu indah.



CINTAKU JATUH DI SEPEDA



Pagi itu tampak Ryan sedang memarkirkan sepeda kesayangannya di tempat parkiran sekolah khusus sepeda. Namun, ketika Ia sedang mencoba keluar dari parkiran tersebut, tiba-tiba saja seseorang dibelakang membunyikan klakson motor dengan teramat keras. Sehingga membuat Ryan menjadi kaget setengah mati. Ryan pun mencoba menoleh kebelakang, dan ternyata orang itu adalah Gusti, teman Ryan yang paling gaul plus menyebalkan.
“Hey brow!!!” sapa Gusti mengangkat tangan sambil turun dari motornya.
“hay… hey… hay… hey…” jawab Ryan dengan raut muka yang kesal “ Elo hobby banget ya buat gue kaget. Memang Elo mau ngebayarin biaya rumah sakit kalau nanti ada apa-apa sama gue.”
“Eeiitt… nyantai donk brow. Enggak usah marah kaya begitu. Gue kan cuma becanda. Peace.” Gusti mengangkat tangan kanannya dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.
“Becanda sih becanda tapi enggak begitu juga kali. Ini mungkin sudah keseratus kalinya Elo ngagetin gue. Awas ya kalau besok-besok Elo masih ngagetin gue, enggak akan lagi-lagi gue nyontekin PR gue ke Elo.”
“ Waduuuuuhh jangan gitu donk brow, bagaimana nasib gue nantinya kalau enggak ada contekan dari Elo,” wajah Gusti langsung berubah menjadi ketakutan saat mendengar bahwa Ryan enggak akan memberikan contekannya lagi. “Oke dech, gue enggak akan ngagetin Elo lagi. Gue janji, janji seorang sahabat.”
“hhhmm oke, kali ini Elo gue maafin. Kalau yang berikutnya jangan harap ya.”
“Thanks ya brow, Elo memang teman gue yang paling baik dan pengertian,” senang Gusti sambil memeluk Ryan.
Kemudian tanpa disengaja Gusti melirik sepeda berwarna biru yang ada di parkiran. Tiba-tiba Ia mengerenyitkan dahi.
“Hey- hey… Elo masih naik sepeda juga,”
“Iya, memang kenapa? Ada yang salah ya,” jawab Ryan dengan santainya.
“Ya iyalah salah. Sekarang enggak zaman berangkat ke sekolah naik sepeda Brow. Lihat!! Semua siswa disini rata-rata naik kendaraan bermotor semua. Terus, kalau Elo naik sepeda kapan bisa punya ceweknya. Zaman sekarang cewek sukanya sama cowok yang punya motor, brow. Apa lagi kalau motornya itu keren. Pasti mereka bakal nempel kaya perangko,” Gusti mulai menghasut.
“enggak semuanya cewek kaya begitu, mungin masih ada cewek yang mau menerima gue apa adanya. Lagi pula naik sepeda itu sehat loh plus bisa menjaga bumi kita dari pemanasan global, Brow.”
“Akh Elo memang susah dikasih tahunya,”
“Hahaha ya sudah lebih baik kita masuk kekelas! Nanti telat lagi,” ajak Ryan sambil merangkul Gusti.
  *     *     *
Pukul 13:35 WIB,
Teng…teng…teng…
Tak terasa Lonceng yang menandakan waktu pulang telah berbunyi. Seluruh siswa dan siswi keluar dari dalam kelas penuh dengan suka cita. Rasa penat yang tadinya menghinggapi, seketika hilang begitu saja.
”Ryan tunggu!!!” teriak Gusti.
“Ada apa lagi?” tanya Ryan tampak sinis.
“Sinis banget sih Elo sama gue. Oh iya jangan lupa, tugas matematika besok bagi-bagi ya! Hehehe.”
“Hhhmmm dasar Elo mau enaknya aja. Sekali-kali donk kerjain tugas Elo sendiri, jangan terlalu mengandalkan orang lain!” tegas Ryan.
“Hehehe iya, tapi nanti kapan-kapan aja.”
Namun, ketika Ryan sedang menceramahinya, Gusti malah melirik kearah wanita didepan gerbang sekolah.
“Wah ada Shella tuh. Men, gue tinggal dulu ya ada urusan penting nich,” Gusti langsung menaiki motor sportnya dan menuju ke wanita yang Ia lihat itu.
“Gusti, Elo mau kemana? Yah gue ditinggal sendiri lagi, dasar tuh anak memang nyebelin.” Ryan tampak kesal.
“Yan gue duluan ya!!!” teriak Gusti dari depan gerbang.
“Waduh apa maksudnya Dia ngeboncengin Sella, cewek pujaan hati gue. Kurang ajar tuh anak. Hhmm memang enak sih kalau punya motor, dapetin cewek yang kita suka jadi lebih gampang. Akh ngomong apa aku ini. Siapa bilang sepeda enggak bisa. Bisa kok, lihat aja nanti,” kata Ryan yang mencoba menghibur dirinya sendiri.
Kemudian Ryan mulai mengayuh sepedanya dengan perasaan kanut. Bagaimana tidak, cewek pujaannya pulang bareng Gusti, seorang cowok play boy.
Hari semakin panas. tubuh ini seakan-akan terbakar oleh panasnya matahari. Ryan terus mengayuh sepedanya tanpa henti. Keringat terus mengucur dari setiap pori-pori kulitnya. Namun, tiba-tiba di tengah perjalanan, Ryan melihat sebuah motor Ninja 250 CC berwarna merah terparkir disebuah bengkel kecil.
“Hhhmm sepertinya aku kenal dengan motor dan plat nomornya,” kata Ryan.
Apa yang Ryan pikirkan ternyata benar. Motor itu memang milik Gusti. Disitu tampak Gusti dan Shella sedang duduk berdua. Dengan segera Ryan pun menghampiri mereka.
“Hay, kalian sedang apa disini?” tanya Ryan.
“Eh Elo rupanya, Yan. Enggak tahu nih brow, motor gue tiba-tiba mogok.”
“Ooohh…”
“Duh bagaimana nih, hari ini kan aku mau ada kursus bahasa inggris dengan Miss Diana. Aku enggak boleh ketinggalan,” Shella tampak gelisah.
“Oya… memang kursusnya jam berapa, Shell?” tanya Ryan basa-basi.
“Jam setengah tiga,”
“Waduh berarti sebentar lagi donk.”
“Iya, bagaimana nich?”
“Hhhmm,” Ryan berfikir sejenak. “Oh iya kebetulan aku bawa sepeda, bagaimana kalau aku antar kamu pulang. Tapi itu juga kalau kamu mau,” Ryan memberikan usul.
“Yang benar saja kamu Yan, masa cewek secantik Shella disuruh naik sepeda. Ngaco nich kamu,” Gusti merasa keberatandengan usul temannya itu.
“Hhhmm enggak buruk juga. Lagi pula sudah lama aku enggak naik sepeda. Boleh kalau begitu.”
Serasa terbang melayang keawang-awang saat Shella menerima tawarannya itu. Namun tidak demikian dengan Gusti, Ia seakan harga dirinya kalah dengan sebuah sepeda butut milik Ryan.
“Ya sudah mari aku bonceng kamu didepan. Gus, gue duluan ya,” Ryan tersenyum. “Baik-baik disini, dan jangan lupa langsung pulang! Nanti Mami Elo nyariin lagi hehehe.”
Selama perjalanan Ryan dan Shella tampak begitu akrab. Ini adalah sesuatu yang langka bagi Ryan.  Bagaimana tidak, biasanya Ia hanya bisa memandangi wanita pujaannya itu dari jauh. Namun kini Ia bisa berduaan diatas sepeda kesayangannya.
Akhirnya mereka tiba di rumah Shella tepat pada waktunya.
“Terima kasih ya atas tumpangannya. Apa jadinya kalau tadi enggak ada kamu.”
“Iya sama-sama,” Ryan tersenyum.
“Hhhmm wajah kamu sampe berkeringat begitu, sini biar aku usap dulu,” Shella mengusap wajah Ryan dengan sapu tangannya dengan penuh kelembutan.
“Te…te…terima kasih, i…ini mah sudah biasa,” Ryan tampak semakin gugup.
 “Ikkhh kok kamu jadi gugup kaya gitu sich.”
“I…i…ini juga sudah bi…asa, kalau deket sama cewek cantik pasti aku jadi gugup. Khususnya kamu,” Ryan tersenyum malu sambil menggigit jari. “Uuppss keceplosan.”
“Hhhmmm kamu bisa aja,” Shella tersipu malu dengan pipi merah merona. “Oh iya, nanti besokkan hari minggu, bagaimana kalau kita bersepeda bareng?” usul Shella.
“Boleh… boleh banget, kenapa engak. Kapan pun aku siap kok,” Ryan tampak begitu girang seperti mendapatkan uang satu miliar.
“Oke aku tunggu besok di taman dekat sekolah, jangan lupa ya.”
“Sip deh. Aku pasti enggak akan lupa,” kata Ryan sambil mengacungkan jempolnya.
“Ya sudah kalau begitu aku masuk dulu. Hati-hati dijalan ya. Daaah,” Shella melambaikan tangan sambil menutup pintu gerbang rumahnya.
“Ya Tuhan mimpi apa aku tadi malam, sampe gue bisa pulang bareng sama Shella. Jodoh memang enggak bakal kemana. Thanks ya sepedaku. Aku jadi enggak sabar nunggu besok.”
Kemudian Rian pun meninggalkan rumah Shella dengan rasa bahagia.